Evelyn Hadegia berjalan malas menuju ke tangga kamar atas. Tugas yang harus dilakukannya saat itu sebenarnya membutuhkan gerak cepat, tapi kedua kakinya terasa berat sekali untuk dipakai berjalan. Di pikirannya sekarang ia selalu ingin kembali ke dapur, ingin cepat-cepat menyelesaikan olesan Krim di kue tart nya. Gara-gara ini, eksperimen kue tart spesialnya—sambil menonton program masak-memasak di TV—terpaksa harus ditunda sejenak.
Ia menghela napas.
Ini benar-benar menjengkelkan, pikirnya.
Ia semakin mendekati pintu kamar. Ia melirik kembali jam dinding di dinding, memastikan kalau ia tidak salah lihat. Saat itu, sudah pukul dua belas lewat empat puluh, dan anak itu belum bangun juga.
Benar-benar pemalas.
Evelyn membuka pintu kamar itu, yang dipenuhi dengan poster-poster movie kesukaan si pemilik. Evelyn tidak bisa mengekspektasi hal yang lebih baik lagi, karena ia tahu isi di dalam kamar itu justru benar-benar seperti kapal pecah.
“Erika!”
Evelyn membangunkannya berkali-kali. Tapi tetap tidak ada respon.
“ERIKAAAAAA!!!”
Kaca jendela kamar itu sedikit bergetar. Apa boleh buat. Bukannya Evelyn tidak peduli kalau teriakannya itu akan membangunkan tetangga, tapi Evelyn tahu para tetangganya sudah maklum dengan aktivitas ibu dan anak itu setiap pagi. Mereka berdua terkenal hebohnya.
“C'MON WAKE UP SLEEPY HEAD !”
“Moom..,”
Gadis itu menggeliat. Untuk sekali ini saja Evelyn berharap itu adalah pertanda kalau gadis itu akan segera beranjak dari ranjangnya. tapi ternyata ia malah menggeliat untuk mencari posisi kasur yang lebih empuk.
“Erika Hadegia.. YOUUUU..,”
Padahal Evelyn sudah yakin teriakannya tadi memekakkan telinga. Tenggorokannya terasa kering dan gatal, terutama akibat kebanyakan mencicipi bahan-bahan kue di dapur tadi, dan sekarang ia sedang tidak mood untuk berteriak lagi. Terpaksa, ia tidak punya pilihan lain.
“Aaaarghh!! Mooom, you're heavy!!”
Salah satu senjata andalan Evelyn dalam membangunkan anaknya adalah dengan menindihnya. Eve yakin, dengan tindihan berat badannya yang naik 5 kilo pagi itu, Erika, pasti akan terbangun dalam sekejap.
“its okay dear if you want back to sleep again..,” ujar Eve.
Erika menggeliat-geliat sambil meronta-ronta. Ia berusaha untuk melawan, tapi tampaknya tubuh Eve terlalu berat untuk gadis sekecil dia. Dengan segala daya upaya Erika berusaha untuk terbebas dari tindihan itu, tapi semakin keras dia berusaha, ia semakin kehabisan napas.
“wanna wake up or not? Kalau tidak akan kutindih terus, nih.”
Erika meronta-ronta lagi tanpa hasil. Kali ini ia benar-benar tidak berdaya. Di dalam setengah tidurnya itu ia bermimpi seperti sedang tertimpa king kong. King kong seberat lima ribu ton, seukuran kapal Titanic.
“Mooooooom!” jerit Erika. Terdengar bunyi berderit-derit dari spring bed yang dinaikinya. Eve tidak peduli, kalaupun kasur itu harus jebol atau roboh. Anak ini tetap harus diberi pelajaran sekali-sekali.
“Aduh, Moom! i cant breath, niih..!”
Eve tidak akan berhenti begitu saja. Ia tahu benar kalau anak itu sebentar lagi akan menyerah.
“Oke, oke. im awake, happy? ugh i cant believe this, its summer! cant i sleep for like all day?!”
Gadis itu bangkit dari tempat tidurnya, segera setelah Eve membebaskannya dari tindihan. Rambutnya kusut seperti sapu ijuk, dan matanya bengkak seperti balon.
"Hi Erika" sebuah suara yang mambuat Erika menoleh ke sebelah kirinya. awalnya Erika hanya bisa melihat jins hitam dan suppra hitam cowok itu. jelas saja, Erika kan sedang duduk.
"oh, hi mark" sapa Erika balik.
Mark Castio terlihat rapi. Ia memamerkan senyum terbaiknya, lengkap dengan gigi-giginya yang bagus dan rahangnya yang lebar sempurna. Rambutnya pirang kecoklat-coklatan. Matanya indah, berwarna hijau toska, dengan bulu mata yang pendek. Hidungnya mancung meski lubang hidungnya agak sedikit besar. Dada bidangnya terlihat begitu kokoh. Sekilas Erika mengintip di balik kemeja putihnya, tersembul otot-otot yang cukup terbentuk dan tubuh yang sangat atletis. Bentuk tubuh yang pasti akan membikin iri laki-laki manapun.
Mark memang tampan, tapi sejujurnya ia terlalu membosankan. Meskipun anaknya polos dan gampang tertawa, tapi Mark tertawa untuk hal yang tidak lucu, dan tidak tertawa untuk hal yang Erika anggap lucu. Erika pasti akan berpikir seribu kali sebelum mempertimbangkan menjadikan cowok ini sebagai pacar.
Tapi, cowok manapun juga, sebenarnya akan dipikir seribu kali juga olehnya. Mau itu Mark Castio, Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, atau siapapun. Erika benar-benar bukan tipe cewek yang gampang jatuh cinta.
“Eh.. Um.. Erika.”
“Ya?”
“Apakah ada yang pernah mengatakan padamu kalau kau sangat imut?”
Serasa bumi terbelah menjadi dua saat Erika mendengar kata ‘imut’ di telinganya. “Imut??”
Erika sering mendengar berbagai variasi gombal di telinganya. ‘Imut’ adalah kata yang jarang didengarnya. Entah mengapa sejak kelas tujuh, banyak sekali laki-laki yang mendekatinya, dengan bermacam-macam cara pendekatan. Ada yang memberi bunga, ada yang mengarang lagu, ada yang membuat puisi, ada yang hanya ngobrol biasa, ada yang mengajak nonton, satu persatu semuanya berguguran karena tidak ada satupun yang menarik perhatian Erika. Bahkan playboy yang paling terkenal dengan jurus rayuan gombal mematikan pun sudah angkat tangan menghadapinya.
Well. Tidak sedikit dari mereka yang tampan, tapi bagi Erika bukan itu masalahnya. Masalahnya, ia sama sekali tidak tertarik. Saking kebalnya Erika terhadap kaum pria, sempat muncul spekulasi di sekolahnya dulu bahwa ia sebenarnya adalah seorang lesbi. Spekulasi yang sangat konyol, pikir Erika. Pada kenyataannya, Erika sendiri juga sama sekali tidak tertarik pada kaum wanita.
Erika tidak mau ambil pusing soal gosip-gosip itu. Menurutnya, selama belum ada yang cocok, dia takkan menerima cowok manapun jadi kekasihnya. Ia lebih senang hidup sendiri, merasa bebas dan tentunya ia merasa cool! Siapa coba yang bisa menaklukkan hatinya? Ia bisa pamer kemana-mana.
Yang ia heran, kenapa cowok-cowok itu justru malah bisa suka padanya? Padahal Erika tahu, wajahnya sangat standar, tinggi tubuhnya standar, warna kulitnya pun standar. Boro-boro pintar, ia justru sering dijadikan bahan olok-olok di kelas, terutama untuk pelajaran bahasa Spanyol. Tak ada yang menarik di dirinya. Tak ada yang spesial. Kalaupun dia terlahir sebagai cowok, dia yakin 100% kalau dia tak akan mau memacari dirinya yang sekarang. Terlalu jelek, pikirnya. Apa yang membutakan mata para cowok itu? Itu adalah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawabnya.
“Hahaha. Mark, kurasa kau terlalu berlebihan deh,” kata Erika.
“Mungkin bukan imut, ya? Hm, menarik? Hmm, entahlah. Yang jelas entah kenapa keberadaanmu itu malah menarikku untuk mendekatimu.”
Erika tertawa kecil. “Memangnya aku magnet?”
“Tidak mungkin. Aku kan bukan besi,” ujar Mark.
Erika mendesah. Tinggal menunggu saatnya orang-orang baru ini menyadari kalau dirinya berada di luar jangkauan mereka. Erika sama sekali bukan tipe cewek yang mudah dijamah. Yang perlu Erika lakukan adalah mulai lagi dari awal, menolak mereka satu per satu. Salah satu caranya adalah dengan mengganti topik.
“Eh, Mark. you know Kayla Hopkins? i heard that she will spend her summer here, in her Granny's, besides she's a HOT stuff,” tukasnya. Ia berusaha terlihat antusias, untuk mengesankan bahwa gadis itu benar-benar sangat cantik—padahal ia sendiri belum pernah lihat.
“Yea, i've heard that. Tapi aku belum lihat orangnya yang mana,” jawab Mark.
Kesempatan emas, pikir Erika.
“You better find her, Mark, lalu kau dekati dia. i heard that she just broke up with her boy. Kalau tak cepat-cepat, nanti dia keburu disambar orang lain, lho,” Erika memberikan saran. Tak sulit untuk menebak kalau Mark telah terpengaruh oleh persuasi Erika.
“Benarkah? Kau tahu tidak yang mana rumah neneknya?” tanya Mark.
“Tidak tahu. Lagipula, bukankah lebih asyik kalau kau mencari tahu sendiri? Nanti kau bisa ceritakan padanya betapa sulit perjuanganmu untuk mencari tahu tentang dia,” ujar Erika.
Erika terperangah mendengar ucapannya sendiri. Ia tidak menyangka bisa mengarang alasan secerdas itu.
Mark berpikir sebentar.
“Benar juga. Kalau begitu, akan kucari tahu.”
Mark bergegas pergi. Entah ke manakah ia akan mencari gadis itu, Erika tak tahu. Dalam waktu singkat, anak laki-laki itu sudah hampir menghilang di antara kerumunan orang-orang
Mark begitu bersemangat ingin bertemu dengan cewek yang bernama Kayla Hopkins itu, sampai-sampai ia lupa bahwa hari sudah hampir gelap. Percuma saja Erika berteriak, karena saat itu Mark sudah semakin jauh.
Erika menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan anak laki-laki ini. Entah apa yang dilakukan Mark setelah itu. Erika tak begitu peduli. Yang jelas sekarang ia ingin segera kembali ke rumah sebelum Jessie, teman baru dan dekatnya datang dan langsung menghujani Erika dengan segala ocehannya tentang Superstar yang sedang berlibur di Boston bersama teman-teman dan ibunya dan menginap di sebuah penginapan mewah di dekat rumah keluarga Hadegia, keluarga Erika.
Ya, Erika memang sudah tau kalau Superstar itu adalah seorang Justin Bieber. Tapi ya memang dasar nya Erika bukan tipe cewek yang mudah terpesona, bahkan dengan seorang superstar sekali pun, Erika tetap tidak begitu peduli. Malah, justru membuat kuping Erika semakin menderita mendengar cerita Jessie tentang Justin Bieber itu dengan intonasi yang lumayan bisa membuat kuping sakit.
*** GAHHHH Miss to post the story soooo much. eh eh btw this is a new story, just write it dan langung di post. masih seger ehehe. well guys, idc if its just some people that read this story, i make and post it just for fun. i enjoy the moment when i write
